My Ladzidza...

Tempat berbagi ilmu, ide dan resep kue tentunya...

Adat Minangkabau dan Merantau  

RESENSI BUKU TSUYOSHI KATO:
ADAT MINANGKABAU DAN MERANTAU
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH (Balai Pustaka, Jakarta.2005;291 halaman)
Judul asli: MATRILINY AND MIGRATIONS.
VOLVING MINANGKABAU TRADISIONS IN INDONESIA(Ithaca & London: Cornell University Press, 1982; 267 halaman)

Di saat saya menyibukkan diri dengan berbagai masalah praktis dan deadline tugas akhir, memang rasanya menyegarkan sekali membaca buku disertasi Tsuyoshi Kato yang aslinya diterbitkan oleh Cornell University Press ini. Meskipun yg saya dapati hanya buku terjemahan, namun seolah-olah saya disuruh untuk berhenti sejenak dan memikirkan hal-hal yang berada di bawah permukaan dari sebuah masyarakat sukubangsa, di lingkungan saya hidup sekarang, yakni sukubangsa Minangkabau. Yang jelas kita dibawa hanyut dengan sistematika dan cara penyajiannya yang begitu menarik, menelusuri permasalahan matrilini dan migrasi yang tak lagi begitu krusial dalam kehidupan sukubangsa Minangkabau itu. Walaupun kedua masalah ini telah juga dibahas dan dipelajari secara terpisah-pisah oleh banyak ahli sebelumnya, tapi sekaranglah dengan buku ini seingat saya yang uraiannya begitu kompak menukik, jelas onggok-onggoknya, dan jelas pula kaitannya antara satu sama lain.

Studi Kato ini kelihatan sekali keseimbangannya, di samping secara tajam dan seksama mengamati dinamika dan proses perubahan yang terjadi, dia pada waktu yang sama juga berusaha mendeteksi faktor-faktor dan kekuatan-kekuatan sosial-budaya yang memungkinkan sebuah lembaga budaya bisa bertahan menghadapi corak-corak kekuatan yang setiap kali bisa mengancam akan stabilitas dan kesinambungannya. Malah dengan pendekatan yang bercorak terpadu dan holistik ini kita dibantunya melihat sistem sosial dari sebuah masyarakat secara utuh sambil melihat bagaimana berfungsinya bahagian-bahagian itu dalam sebuah mekanisme dan bangunan sosial. Dia melihat, dan diperlihatkannya kepada kita, bagaimana kedua institusi matrilini dan merantau itu tidaklah berjalan sendiri-sendiri, tapi saling berkaitan, dan malah saling memperkuat. Kato melihat bahwa pada tahap awal, merantau dimungkinkan karena terjadinya keharusan mobilitas geografis akibat dari makin berkembangnya penduduk dan relatif makin tidak memadainya tanah yang tersedia dalam mempertahankan hidup secara agraris-menetap (sedentary agriculture) di desa semula. Perkembangan dari luhak (tanah asal di darat) ke rantau (tanah pesisir di sekitarnya) sehingga kemudiannya berkembang menjadi "Alam Minangkabau" itu pada awal dimungkinkan karena ada proses segmentasi pemukiman perkampungan (village segmentation) itu. Karena yang pergi meneruka mencari tanah baru dan mempersiapkan perkampungan-perkampungan baru itu rata-rata adalah laki-laki dan meninggalkan isteri dan anak-anak di belakang mengemasi harta-benda, rumah, sawah-ladang dan segala sesuatu yang ditinggalkan, di sinilah terlihat keharusan berfungsinya sistem matrilineal itu. Dalam tambo Minangkabau sendiri diperlihatkan proses segmentasi perkampungan itu: dari taratak, ke dusun, dari dusun ke koto, dari koto ke nagari.

Malah tambo sendiri pula yang menyingkapkan bahwa berbeda dengan mitologi sukubangsa lainnya yang mengaitkan kedatang-an nenek-moyangnya sebagai turun dari langit (Batak, Jepang, dsb), Nenek-moyang orang Minangkabau, katanya, berasal dari Sultan Iskandar Zulkarnaen (Alexander the Great of Macedonia) dari Benua Ruhum (Byzantium, Turki sekarang) dan bersapih-belahan pula dengan kaisar-kaisar di Jepang dan Tiongkok. Ini saja sudah menunjukkan dari sumber-sumber folklore bahwa orang Minangkabau sejak semula sadar sekali bahwa mereka selalu dalam bergerak terus. Dengan terbukanya hubungan-hubungan dagang ke dunia luar dari perkembangannya sesudah itu, muncul pula ciri kedua dari perantauan Minang itu, yang oleh Kato digelari dengan migrasi sirkuler (circulatory migration). Migrasi sirkuler itu ada yang berlingkar besar, ke Melaka, ke Aceh, ke hiliran sungai-sungai besar di pantai Timur, dsb., dan ada pula yang berlingkar kecil, yaitu dari mengikuti arus perdagangan dari pakan-pakan (pasar kecil) di sekitarnya. Perubahan orientasi perekonomian dari pertanian sedenter ke perdagangan berkeliling ini momentumnya meningkat dengan jelas sekali justeru dengan mulai berkembangnya kota-kota di jaman penjajahan Belanda sampai berakhirnya penjajahan itu sendiri. Migrasi sirkuler yang biasanya sendiri-sendiri dan sebentar-sebentar ini selalu berorientasi ke kampung, membawa apa-apa yang didapatkan di rantau untuk di bawa pulang ke kampung.

Sejak kemerdekaan ini, bagaimanapun, apalagi sejak PRRI ke mari, perantauan orang Minang telah menjurus ka arah "Rantau Cino," yaitu rantau berlama-lama dan sekaligus membawa anak isteri sekali. Ini dimungkinkan karena makin terbukanya lapangan hidup baru di luar bidang pertanian di kota-kota, terutama kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Perubahan pola migrasi sukubangsa Minangkabau dari satu tahap ke tahap berikutnya sudah dengan sendirinya memberi effek kepada pola dan sistem kekeluargaannya. Ada empat ciri utama, menurut Kato, dari sistem matrilineal sukubangsa Minangkabau, yaitu: susunan keluarga (descent and descent group) diatur menurut garis ibu; kelompok keluarga matrilineal (matrilineage) berbentuk korporatif; pola residensial adalah duolocal; dan kekuasaan (authority) ada di tangan mamak (maternal uncle). Dalam proses perubahan dan kontinuitas masyarakat Minangkabau sekarang ini, ciri pertama, orang-orang yang dibangsakan menurut lini ibu, praktis tidak berubah. Orang-orang ini juga mengidentifikasikan dirinya ke dalam suku, payung, jurai, dan paruik menurut garis ibu. Yang berubah menurut masa dan perkembangannya adalah ketiga yang lainnya.

Namun Kato, dan disinilah letak kejelian argumentasinya, perubahan yang terjadi pada ketiga ciri lainnya itu tidak harus berarti bahwa sistem matrilinial telah terancam. Sistem matrilineal terpelihara justeru karena adanya institusi merantau ini. Benar, karena merantau, dan karena corak penghidupan tidak lagi tergantung kepada usaha-usaha pertanian sedenter itu, lalu harta pusaka makin tidak berarti dan, sebaliknya, harta pencaharian kepada anak inipun tidak terlepas dari pola pewarisan matrilineal. Buktinya bahwa harta pencaharian yang jatuh kepada anak itu, dalam persalinan generasi akan jatuh lagi menjadi pusaka rendah dan dari pusaka rendah ke pusaka tinggi. Apalagi dalam hal pewarisan harta pencaharian berupa harta tak bergerak, seperti tanah, rumah, dsb., kecenderungan kuat selalu preferensinya jatuh kepada anak perempuan, bukan anak laki-laki. Dan bagi setiap laki-laki Minang yang merantau selalu saja ada keinginan untuk menambah dan memperbanyak harta kaum itu, bukan sebaliknya. Kato juga melihat bahwa peralihan dari duolocal ke uxorilocal dari pola residensi keluarga Minang, di mana si bapak karenanya lebih berkuasa di dalam lingkungan keluarga nuklirnya, tidaklah lantas sekaligus merubah atau merombak asas sistem matrilineal itu. Di dalam rumah yang didirikan oleh si bapak itu sendiri dalam persalinan generasi akhirnya juga akan jatuh kepada anak perempuannya, yang lantas secara involusi berbalik kembali menjadi harta kaum dari pihak ibu.

Juga dengan makin berkurangnya kekuasaan mamak di keluarga nuklir yang cenderung menjurus ke uxorilocal itu tidak lantas berarti bahwa kekuasaan mamak dalam periuk, jurai, payung dan suku akan makin habis. Dalam hal-hal yang bersifat seremonial dalam keluarga, tidak ada yang putus tanpa kehadiran dan persetujuan sang mamak. Dalam hal ini masih berlaku mamang adat: “Kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, dan mufakat beraja kepada kebenaran, kebenaran berdiri dengan sendirinya.” Orang Minang yang sudah larut di rantau sekalipun, dan malah telah menyandang gelar sarjana, haji, dsb., masih saja di hati kecilnya ingin jadi datuk, jika hak itu memang ada padanya.
Tesis Kato ini menarik karena munculnya di tengah-tengah munculnya antitesis lainnya yang beresonansi kuat yang mensinyalir bahwa sistem matrilineal di Minangkabau telah mulai pudar dan dalam menuju kepunahannya. Dengan karya ilmiah ini Kato paling kurang ingin membuktikan bahwa emigrasi bisa bahkan memperkuat sistem matrilineal itu. Bagi saya sendiri yang menarik dengan buku ini bukanlah sekedar isinya, karena isinya praktis tidak ada yang baru jika kita juga membaca dan menyimak buku-buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan topik yang sama oleh orang-orang sebelumnya. Namun yang jelas saya merasa beruntung bisa mendapatkan buku ini, ditengah-tengah krisis budaya yang sedang melanda generasi muda minangkabau.

Yang saya kuatirkan hanya satu; kalau-kalau Kato juga terjebak pada kelemahan orang-orang yang biasa dengan menyediakan konsep hipotetis terlebih dahulu, lalu secara tidak disadari berusaha menyiapkan data-data yang cukup kuat untuk mendukungnya. Ini biasa sekali terjadi dalam dunia ilmu yang sangat kompetitif, di mana sesuatu karya baru artinya jika karya itu berbeda dari orang lain punya. Membiarkan peristiwa-peristiwa budaya berlalu menurutkan naluri alamiahnya, yang kadang-kadang tidak konsisten jalannya, dan tidak cocok dengan asumsi ilmiah kita, kadang kala pula diperlukan, demi untuk memberi kesempatan kepada kenyataan sosial itu untuk bisa bicara sendiri. Namun, saya harapkan mudah-mudahan kekuatiran tersebut itu tidak beralasan, dan hanya sekedar waham saja. ***

AddThis Social Bookmark Button

4 komentar

Posting Komentar